Judul Asli : Muslim Women Who Taught Their
Husband
Penulis : Bintus Sabil
Judul Terjemahan : Wanita Muslimah yang Mengajari
Suaminya
Alih Bahasa : Ummu Abdillah al-Buthoniyah
Desain sampul : MRM Graph
Disebarluaskan melalui:
Website:
http://www.raudhatulmuhibbin.org
e-Mail: redaksi@raudhatulmuhibbin.org
Oktober, 2009
Buku ini adalah online e-Book dari Maktabah
Raudhah al Muhibbin yang diterjemahkan dari on-line e-Book versi Bahasa Inggris dari situs
http://www.idealmuslimah.com. Diperboleh- kan untuk menyebarluaskannya dalam bentuk
apapun, selama tidak untuk tujuan komersil
Daftar Isi
1. P e n d a h u l u a n .................................................. 1
2. Fatimah bint al-Mundzir ibn az-Zubair al-Awam....... 3
3. Puteri Sa’id bin al-Musayyib..................................... 8
4. Fatimah bint Muhammad ibn Ahmad....................... 10
5. Maryam bint Jash.................................................... 12
6. Fatimah bint Yahya.................................................. 14
7. Amat al-Ghafur bint Ishaq ad-Dihlawi....................... 16
8. K e s i m p u l a n ...................................................... 18
Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya
55
Pendahuluan
Saya hampir bisa merasakan keterkejutan anda ketika membaca judul “Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya”!? Rasa takjub itu mungkin berasal dari keadaan yang menyedihkan yang banyak dijumpai oleh kaum Muslimin sekarang ini.
Husband
Penulis : Bintus Sabil
Judul Terjemahan : Wanita Muslimah yang Mengajari
Suaminya
Alih Bahasa : Ummu Abdillah al-Buthoniyah
Desain sampul : MRM Graph
Disebarluaskan melalui:
Website:
http://www.raudhatulmuhibbin.org
e-Mail: redaksi@raudhatulmuhibbin.org
Oktober, 2009
Buku ini adalah online e-Book dari Maktabah
Raudhah al Muhibbin yang diterjemahkan dari on-line e-Book versi Bahasa Inggris dari situs
http://www.idealmuslimah.com. Diperboleh- kan untuk menyebarluaskannya dalam bentuk
apapun, selama tidak untuk tujuan komersil
Daftar Isi
1. P e n d a h u l u a n .................................................. 1
2. Fatimah bint al-Mundzir ibn az-Zubair al-Awam....... 3
3. Puteri Sa’id bin al-Musayyib..................................... 8
4. Fatimah bint Muhammad ibn Ahmad....................... 10
5. Maryam bint Jash.................................................... 12
6. Fatimah bint Yahya.................................................. 14
7. Amat al-Ghafur bint Ishaq ad-Dihlawi....................... 16
8. K e s i m p u l a n ...................................................... 18
Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya
55
Pendahuluan
Saya hampir bisa merasakan keterkejutan anda ketika membaca judul “Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya”!? Rasa takjub itu mungkin berasal dari keadaan yang menyedihkan yang banyak dijumpai oleh kaum Muslimin sekarang ini.
Wanita Muslimah sekarang ini, tidak dapat mengajari suaminya karena:
1. Mereka tidak memiliki ilmu yang akan diajarkan kepada suaminya, titik.
2. Sang suami tidak ingin belajar dari isterinya (betapa memalukannya isteriku mengajariku!)
3. Salah satu atau keduanya terlalu sibuk untuk sekedar duduk bersama dan mempelajari agama Allah.
4. Salah satu atau keduanya tidak tertarik atau hanya sedikit sekali tertarik untuk mempelajari agama Islam.
Namun kaum Muslimin di masa lalu sangat berbeda dengan kaum Muslimin di zaman sekarang ini. Ada saat-saat dimana keduanya, suami dan isteri, duduk bersama dengan kecintaan yang sama akan ilmu mengenai agama ini. Orang-orang yang mengenal ilmu-ilmu Islam akan mengetahui
bahwa para ulama terdahulu sedemikian bersemangat menempuh perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits Nabi s. Bagi laki-laki seperti mereka, memiliki isteri seorang ulama adalah salah satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan.
Betapa kejinya ketika seseorang memberi label kepada para ulama Islam sebagai patriarki dan misogenis (laki-laki yang membenci wanita). Sungguh sayang, seiring perputaran dunia, kebodohan menyebar; para Modernist (yang darinya bercabang kaum Feminis) mengajak pada penafsiran kembali
ayat-ayat Allah, hadits Nabi s dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa Islam yang kita kenal hari ini adalah buah dari pemikiran, pendapat dan ide-ide kaum laki-laki.
Bagi mereka yang merasa malu untuk belajar dari isterinya, Bagi mereka yang berkata bahwa wanita Muslimah tidak memiliki peran dalam menyebarkan ilmu, Bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang misogenis dan patriarki, Dan bagi para wanita yang berusaha untuk merubah ajaran Islam dan mengatakannya andocentric.1 Saya menantang anda untuk terus membaca buku ini.
1 Andocentric yaitu ‘male centered’ atau sesuatu yang berpusat pada laki-laki.
1. Mereka tidak memiliki ilmu yang akan diajarkan kepada suaminya, titik.
2. Sang suami tidak ingin belajar dari isterinya (betapa memalukannya isteriku mengajariku!)
3. Salah satu atau keduanya terlalu sibuk untuk sekedar duduk bersama dan mempelajari agama Allah.
4. Salah satu atau keduanya tidak tertarik atau hanya sedikit sekali tertarik untuk mempelajari agama Islam.
Namun kaum Muslimin di masa lalu sangat berbeda dengan kaum Muslimin di zaman sekarang ini. Ada saat-saat dimana keduanya, suami dan isteri, duduk bersama dengan kecintaan yang sama akan ilmu mengenai agama ini. Orang-orang yang mengenal ilmu-ilmu Islam akan mengetahui
bahwa para ulama terdahulu sedemikian bersemangat menempuh perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadits Nabi s. Bagi laki-laki seperti mereka, memiliki isteri seorang ulama adalah salah satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan.
Betapa kejinya ketika seseorang memberi label kepada para ulama Islam sebagai patriarki dan misogenis (laki-laki yang membenci wanita). Sungguh sayang, seiring perputaran dunia, kebodohan menyebar; para Modernist (yang darinya bercabang kaum Feminis) mengajak pada penafsiran kembali
ayat-ayat Allah, hadits Nabi s dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa Islam yang kita kenal hari ini adalah buah dari pemikiran, pendapat dan ide-ide kaum laki-laki.
Bagi mereka yang merasa malu untuk belajar dari isterinya, Bagi mereka yang berkata bahwa wanita Muslimah tidak memiliki peran dalam menyebarkan ilmu, Bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang misogenis dan patriarki, Dan bagi para wanita yang berusaha untuk merubah ajaran Islam dan mengatakannya andocentric.1 Saya menantang anda untuk terus membaca buku ini.
1 Andocentric yaitu ‘male centered’ atau sesuatu yang berpusat pada laki-laki.
- Fatiman Binti al-MundzirIbn aZ-Zubair Ibn al-Awwam.
Asma xadalah sosok yang dikenal dalam sejarah Islam, tidak saja karena dia adalah anak dari Abu Bakar as-Siddiq z dan saudari Aisyah x, akan tetapi dia juga adalah isteri yang taat dari sahabat Zubair ibn al-Awwam z.
Perannya dalam membantu Nabi s dan keteladanan dalam pengorbanan dan kesabarannya akan tetap hidup dalam satu kurun sejarah Islam. Dia diberi nama Dzaatun Niataqain (wanita dengan dua ikat pinggang) karena peristiwa yang dialaminya dimana dia menggunakan dua ikat pinggang2
untuk mengikat makanan bagi Nabi s dan ayahnya Abu Bakar z. Keduanya telah meninggalkan Makkah dan dikejar oleh musuh-musuh (Quraisy). Adalah tugas Asma x untuk membawakan makanan itu bagi mereka secara rahasia; dalam keadaan hamil tua dia memanjat gunung Tsur.
Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan gunung ini, cukup bagimu mengetahui bahwa bahkan orang muda akan terengah-engah mendaki jalannya yang berbatu. Apa yang mendorong Asma x, dengan kehamilannya, menempuh perjalanan yang berbahaya itu? Tidak lain karena cinta yang
2 Asma x memiliki satu ikat pinggang yang akhirnya dirobeknya menjadi dua, dan salah satunya digunakan untuk mengikat bekal makanan dan yang satu lagi dipakai sebagai ikat pinggang.
mendalam kepada Nabi s dan ayahnya. Selanjutnya ketika Abu Jahal datang ke rumah Abu Bakar z, dengan penuh dendam dan amarah bertanya kepada Asma xdimana ayahnya dan Nabi yang mulia s berada. Berdiri tegar, dengan iman yang mengalir di sekujur nadinya, dia mengatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Abu Jahal menampar pipinya; dan dia tetap tegar berdiri tanpa menyerah, dengan hati yang dipenuhi cinta kepada agama ini.
Kecintaannya tidak berakhir dengan wafatnya Rasulullah s, sebaliknya dia menyalakan kecintaan yang mendalam ini ke dalam hati anak-anak dan cucu-cucunya. Salah seorang cucunya yang mengambil manfaat yang sangat besar dari kebersamaan dengannya tidak lain adalah Fatima bin al-Mundzir rahimahallah. Allah telah memilih Fatimah menjadi sebuah cahaya yang namanya bersinar – bahkan hingga hari ini, di kitab-kitab hadits.
Fatimah bin al-Mudnzir rahimahallah dipandang sebagai salah satu Tabi’at yang utama di masanya. Dia adalah seorang ulama besar dan dikenal sebagai seorang Faqihah dan menikah dengan saudara sepupunya, Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair v. Hisyam v juga seorang ulama besar dan seorang perawi hadits. Beberapa diantara murid-mudirnya yang utama adalah Imam Abu Hanifah v, Imam Malik v, Syu’bah v dan Sufyan ats-Tsauri v.
Meskipun mereka berdua bersepupu, Hisyam tidak mendapatkan banyak hadits Nabi s dari Asma xseperti yang diperoleh Fatimah. Oleh karena itu dia bertanya kepada isterinya dan belajar darinya perkataan Nabi s, menghafalkannya dan kemudian menyampaikannya kepada para sahabat dan murid-muridnya, dari apa yang diajarkan isterinya. Banyak yang telah meriwayatkan dari Fatimah, seperti Ibnu Ishak (penulis buku shirah yang terkenal) dan yang lainnya. Akan tetapi Hisyam merupakan orang yang paling utama dalam meriwayatkan hadits langsung dari Fatimah rahimahalllah.
Berikut ini hanyalah beberapa contoh dalam kitab hadits utama, dimana Hisyam meriwayatkan dari Fatimah:
1. Hisyam meriwayatkan dari isterinya Fatimah, dari neneknya Asma bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah s lalu berkata,”Ya Rasulullah s, aku mempunyai anak perempuan yang akan menjadi pengantin.
Ia pernah terkena penyakit cmpak sehingga rambutnya rontok. Bolehkan aku menyambungnya (dengan rambut lain)?” Rasulullah s bersabda: “Allah mengutuk wanita yang menyanbungkan rambut seorang wanita dengan rambut lain dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya.”
Hadits ini diriwyatkan dalam:
• Shahih Bukhari
• Shahih Muslim
• An-Nasa’i
• Ibnu Majah
2. Hisyam berkata: Fatimah meriwayatkan kepadaku dari Asma bahwa dia berkata: “Kami memakan daging salah satu kuda kami di masa Nabi s.“
Hadits ini diriwayatkan dalam:
• Shahih al-Bukhari
• Shahih Muslim
• An-Nasa’i
• Ibnu Majah
3. Hisyam meriwayatkan dari Fatimah dari Asma bahwa ia berkata: Rasulullah s kepadaku: “Berinfaklah atau memberilah dan jangan menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya untukmu.”
Hadits ini diririwayatkan dalam:
• Shahih al-Bukhari
• Shahih Muslim
• An-Nasa’i
4. Hisyam juga meriwayatkan hadits yang panjang darinya dalam Shahih Bukhari dan Muslim mengenai Shalat Gerhana.
Bagi sebagian ulama Islam terkemuka, seperti Imam Bukhari v dan Imam Muslim v, mencatat hadits dimana:
1. Wanita meriwayatkan hadits
2. Seorang laki-laki meriwayatkan dari isterinya
Hal ini menyimpan pelajaran besar bagi orang-orang yang mengatakan bahwa para ulama Islam adalah misoginis dan andocentrik. Sebaliknya, kitab yang dipandang sebagai sumber ilmu Islam yang memuat hadits-haditsyang paling terpercaya, di dalam sanadnya terdapat nama-nama para
wanita. Bahkan ini cukup sebagai contoh bahwa laki-laki dapat meriwayatkan dari isterinya tanpa perlu merasa malu.
Jika bukan karena Hisyam v yang belajar dari Fatimah v, yang belajar dari Asma x, kita mungkin tidak dapat menarik manfaat dari mutiara hikmah yang indah ini, yang diambil dari lautan Kenabian (yakni hadits-hadits Nabawiyah yang diriwayatkan Fatimah dari Asma-pent.).
2. Seorang laki-laki meriwayatkan dari isterinya
Hal ini menyimpan pelajaran besar bagi orang-orang yang mengatakan bahwa para ulama Islam adalah misoginis dan andocentrik. Sebaliknya, kitab yang dipandang sebagai sumber ilmu Islam yang memuat hadits-haditsyang paling terpercaya, di dalam sanadnya terdapat nama-nama para
wanita. Bahkan ini cukup sebagai contoh bahwa laki-laki dapat meriwayatkan dari isterinya tanpa perlu merasa malu.
Jika bukan karena Hisyam v yang belajar dari Fatimah v, yang belajar dari Asma x, kita mungkin tidak dapat menarik manfaat dari mutiara hikmah yang indah ini, yang diambil dari lautan Kenabian (yakni hadits-hadits Nabawiyah yang diriwayatkan Fatimah dari Asma-pent.).
- Puteri Sa'id Ibn al-Musayyib
Sekarang saya mempersembahkan kepada anda keteladanan cucu dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah z. Abu Hurairah menikahkan puterinya dengan Sa’id bin al-Musayyib v. Dari perkawinan yang diberkahi ini, Sa’id bin Musayyib dikaruniai seorang puteri yang shalihah dan cerdas.
Ketika tiba waktunya untuk menikahkan puterinya, Sa’id bin al-Musayyib v memilihkan baginya salah seorang muridnya bernama Abdullah; Abdullah dipilih dari yang lainnya karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu sangat jelas.
Kecintaan Abdullah terhadap ilmu dapat dilihat keesokan harinya setelah menikah dengan puteri Sa’id bin al-Musaayib, ia mengenakan pakaiannya hendak keluar, lalu isteri yang baru dinikahinya bertanya: “Hendak kemana engkau?” Dia menjawab: “Hendak menghadiri majelis Sa’id bin al-Musayyib untuk belajar.” Isterinya berkata, “Duduklah, saya akan mengajarimu ilmu Sa’id bin al-Musayyib.”3 Kemudian puteri Sa’id bin al-Musayyib mengajarinya ilmu. Selama satu bulan Abdullah tidak menghadiri halaqah Sa’id
3 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.
bin al-Musayyib karena ilmu yang telah dipelajari wanita muda yang cantik ini melalui ayahnya (yang kemudian disampaikan kepadanya) telah memadai.
Sangat penting untuk bertanya kepada diri kita sendiri – jika para wanita Muslimah benar-benar memiliki ilmu ini melebih suaminya pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut akan menambah penghormatan dan ketaatan mereka terhadap suaminya, ataukah ilmu ini akan menjadi sumber banyak persoalan rumah tangga? Keutamaan para wanita ini adalah ilmu yang mereka miliki hanya menambah bagi mereka ketaatan dan penghargaan kepada suami mereka.
Perkataan berikut dari suami dari ulama wanita ini cukup untuk memahami betapa cinta yang dimiliki sang suami kepadanya karena ilmu dan ketaatannya:
“Dia lah termasuk wanita yang paling cantik dan paling hafal Kitabullah, dan paling mengetahui tentang Sunnah Nabi s, dan yang paling tahu hak-hak suaminya.”4
Semoga Allah menjadikan para ibu, saudari, dan puteri-puteri (Muslimah) mendapatkan posisi yang demikian di mata suami-suami mereka, dengan ilmu, ketaatan dan kecintaan mereka terhadap agama ini.
4 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.
Ketika tiba waktunya untuk menikahkan puterinya, Sa’id bin al-Musayyib v memilihkan baginya salah seorang muridnya bernama Abdullah; Abdullah dipilih dari yang lainnya karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu sangat jelas.
Kecintaan Abdullah terhadap ilmu dapat dilihat keesokan harinya setelah menikah dengan puteri Sa’id bin al-Musaayib, ia mengenakan pakaiannya hendak keluar, lalu isteri yang baru dinikahinya bertanya: “Hendak kemana engkau?” Dia menjawab: “Hendak menghadiri majelis Sa’id bin al-Musayyib untuk belajar.” Isterinya berkata, “Duduklah, saya akan mengajarimu ilmu Sa’id bin al-Musayyib.”3 Kemudian puteri Sa’id bin al-Musayyib mengajarinya ilmu. Selama satu bulan Abdullah tidak menghadiri halaqah Sa’id
3 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.
bin al-Musayyib karena ilmu yang telah dipelajari wanita muda yang cantik ini melalui ayahnya (yang kemudian disampaikan kepadanya) telah memadai.
Sangat penting untuk bertanya kepada diri kita sendiri – jika para wanita Muslimah benar-benar memiliki ilmu ini melebih suaminya pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut akan menambah penghormatan dan ketaatan mereka terhadap suaminya, ataukah ilmu ini akan menjadi sumber banyak persoalan rumah tangga? Keutamaan para wanita ini adalah ilmu yang mereka miliki hanya menambah bagi mereka ketaatan dan penghargaan kepada suami mereka.
Perkataan berikut dari suami dari ulama wanita ini cukup untuk memahami betapa cinta yang dimiliki sang suami kepadanya karena ilmu dan ketaatannya:
“Dia lah termasuk wanita yang paling cantik dan paling hafal Kitabullah, dan paling mengetahui tentang Sunnah Nabi s, dan yang paling tahu hak-hak suaminya.”4
Semoga Allah menjadikan para ibu, saudari, dan puteri-puteri (Muslimah) mendapatkan posisi yang demikian di mata suami-suami mereka, dengan ilmu, ketaatan dan kecintaan mereka terhadap agama ini.
4 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.
- Fatimah Bint Muhammad Ibn Ahmad
Sekarang kita akan mengunjungi salah seorang Faqihah besar di masanya. Dia dikenal akan keilmuannya terhadap madzhab Hanafi, dan dia tidak lain adalah puteri dari seorang ulama dan ulama fiqh besar, Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Ahmad Alauddin as-Samarqandi v, yang kitabnya Tufathul Fuqaha sangat dikenal oleh para ulama dan penuntut ilmu.
Dia tidak saja belajar fiqih dari ayahnya, namun dia juga menghafal kitab ayahnya Tufathul Fuqaha. Menjadi seorang ahli fiqih bukan perkara mudah, seseorang harus menguasai ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi s dan prinsip-prinsip madzhab yang dijadikan landasan hukum.
Bahkan mereka harus memiliki ilmu mengenai keadaan dan kebutuhan dunia di masanya. Ilmu yang dimiliki wanita ini melebihi suaminya, yang berkonsultasi dengannya mengenai pendapatnya, khususnya ketika suaminya keliru dalam memberikan fatwa. Namanya adalah Fatimah bint Muhammad bin Ahmad rahimahallah, dan ayahnya menikahkannya dengan Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-kasani v, yang sangat dikenal dalam bidang ushul dan furu’.
Dia menulis komentar atas Tufathul Fuqaha berjudul Bada’i as-Sana’i, dan menunjukkannya kepada Syaikhnya (ayah Fatimah), yang merasa senang dengannya dan menerimanya sebagai mahar bagi puterinya, meskipun dia telah menolak pinangan dari beberapa raja di Bizantium. Para fuqaha di masanya berkata, “Dia membuat komentar atas at-Tufat dan menikahi anaknya.”
Sebelum menikah, Fatimah biasa mengeluarkan fatwa bersama ayahnya, dan fatwa tersebut ditulis dengan tulisan tangannya dan ayahnya. Setelah dia menikah dengan penulis al-Bada’i, fatwa tertulis dengan tulisan tangannya, ayahnya dan suaminya. Bila suaminya membuat kesalahan dia akan memperbaikinya.5 Ibnu al-Adim berkata:
“Ayahku meriwayatkan bahwa dia (Fatimah) biasa menukil madzhab Hanafi dengan sangat baik. Suaminya, al-Kasani, kadang-kadang ragu dan keliru dalam berfatwa; maka dia memberitahukan pendapat yang benar dan menjelaskan alasan kesalahannya.”6 Heran? Akan tetapi kita akan melihat ada banyak yang semisal Fatimah bint Muhammad rahimahallah, yang mengikuti jejaknya di abad berikutnya.
5 Tufathul Fuqaha, 1/12
6 Abd Qadir al-Quraishy, al-Jawahir al-Mudiyyah fi Tabaqat Hanafiyyah, iv, 4.
- Maryam Bint Jash
Wanita Muslimah maju, tidak hanya dalam masalah fiqh, hadits dan tafsir, akan tetapi juga dalam ilmu-ilmu Islam lainnya. Salah satu contohnya adalah Maryam bint Jash rahimahallah, yang hidup di abad ke IV, dia adalah ahli dalam bidang bahasa yang Allah pilih untuk menurunkan Al-Qur’an.
Dia menikah dengan seorang ulama besar Yaman, Jamaluddin Ali bin Abil Fawaris al-Hamdani v. Tidak saja karena ilmunya dalam Bahasa Arab, dan juga dengan kecerdasan otaknya, Maryam rahimahallah dapat menguraikan kerumitan yang dialami suaminya. Suaminya
terlibat debat dengan beberapa orang pengikut Murji’ah.
Kebid’ahan mereka meyakini bahwa selama seseorang masih memiliki iman di dalam hatinya, tidak perduli apa yang dia lakukan dengan anggota badannya, iman tersebut akan menjamin keselamatannya. Suaminya, Ali, menukil ayat 40 surat al-A’raaf:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.”
Orang-orang Murji’ah yang berdebat dengannya berkata, “Hal itu mudah bagi Allah, dengan kekuasaan-Nya, jika Dia menghendaki, Dia memasukkan unta melalui lubang jarum.”
Ketika Ali kembali ke rumah pikirannya masih tersita (yakni karena perdebaan itu-pent.) dan tidak dapat tidur di malam hari. Isterinya, Maryam, bertanya apa yang terjadi; setelah dia menjelaskan kepada Maryam apa yang terjadi, dia (Maryam) mengucapkan kalimat yang memberikan Ali tidak saja tidur yang nyenyak tapi benar-benar tidur yang sangat nyaman.. Dia berkata: “Dalam ayat Al-Qur’an tersebut, unta itu adalah subyek dan bukan obyek.”
Dia menikah dengan seorang ulama besar Yaman, Jamaluddin Ali bin Abil Fawaris al-Hamdani v. Tidak saja karena ilmunya dalam Bahasa Arab, dan juga dengan kecerdasan otaknya, Maryam rahimahallah dapat menguraikan kerumitan yang dialami suaminya. Suaminya
terlibat debat dengan beberapa orang pengikut Murji’ah.
Kebid’ahan mereka meyakini bahwa selama seseorang masih memiliki iman di dalam hatinya, tidak perduli apa yang dia lakukan dengan anggota badannya, iman tersebut akan menjamin keselamatannya. Suaminya, Ali, menukil ayat 40 surat al-A’raaf:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.”
Orang-orang Murji’ah yang berdebat dengannya berkata, “Hal itu mudah bagi Allah, dengan kekuasaan-Nya, jika Dia menghendaki, Dia memasukkan unta melalui lubang jarum.”
Ketika Ali kembali ke rumah pikirannya masih tersita (yakni karena perdebaan itu-pent.) dan tidak dapat tidur di malam hari. Isterinya, Maryam, bertanya apa yang terjadi; setelah dia menjelaskan kepada Maryam apa yang terjadi, dia (Maryam) mengucapkan kalimat yang memberikan Ali tidak saja tidur yang nyenyak tapi benar-benar tidur yang sangat nyaman.. Dia berkata: “Dalam ayat Al-Qur’an tersebut, unta itu adalah subyek dan bukan obyek.”
- Fatimah Bint Yahya
Fatimah bint Yahya rahimahallah adalah seorang Mujtahidah di abad ke 9. Mujtahidah (bentuk feminin dari Mujtahid7) adalah seorang ulama yang cakap yang dapat membuat deduksi (menarik kesimpulan) dari sumber-sumber hukum Islam. Pada gilirannya, mereka menggunakan kesimpulan ini untuk memberikan hukum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan seseorang dari masyarakat. Bagi orang yang diberi gelar Mujtahidah harus memiliki ilmu ijma para Sahabat dan yang menyelisihinya, para pengikut mereka (tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan ulama-ulama fiqh dan Mujtahid yang terkemuka. Karenanya untuk menjadi seorang Mujtahidah bukan perkara yang mudah, namun Fatimah bint Yahya pantas mendapatkannya.
Sedemikian ilmunya, sehingga ayahnya – seorang ulama yang
juga memiliki banyak murid – ditanyai oleh Fatimah berkenaan dengan beberapa perkara fiqh. Ulama besar Asy-Syaukani v berkata mengenai dirinya: “Dia sangat dikenal karena ilmunya. Dia telah mendebat ayahnya dalam beberapa perrkara fiqh.
7 Ringkasnya, Mujtahid (atau Mujtahidah) adalah orang yang berusaha dnegan bersungguh-sungguh untuk mengetahui suatu hukum syar’i.
Ayahnya, sang imam, membenarkan bahwa Fatimah melakukan ijtihad dalam menarik kesimpulan hukum.
Ini menunjukkan akan kelebihan ilmunya, kaena sang imam tidak akan berkata demikian kecuali bagi orang yang pantas mendapatkannya.”8 Ayahnya menikahkannya dengan seorang ulama Al-Mutahar ibn Muhammad Sulaiman ibn Muhammad (wafat tahun 879H). Al-Mutahar sangat beruntung, karena kapanpun dia bimbang dalam suatu perkara, dia akan merujuk kepada isterinya untuk menilai perkara fiqh yang sulit. Bahkan di tengah-tengah para muridnya, ketika dia terbentur pada sebuah perkara yang rumit, dia akan bangkit lalu menuju ke balik tirai, dimana sang Mujtahidah duduk di baliknya. Ketika dia kembali dengan jawaban, murid-muridnya berkata: “Ini bukan darimu, melainkan dari orang yang berada di balik tirai.”9
8 Asy-Syaukani, Al-Badr at-Tali, II, 24.
9 Al-Hibasyi, Mu’jam an-Nisa al-Yamaniyah, 149.
- Ammat al-Ghofur Bint Ishhaq aD-Dihlawi
Saya mengakhiri (tulisan ini) dengan sebuah keteladanan Muhaditsah terkemuka, seorang ajam (non Arab) pada abad ke 13 H.
Kata orang ajam digaris bawahi karena banyak yang menyangka bahwa wanita-wanita utama ini menjadi utama hanya karena mereka beruntung Bahasa Arab adalah bahasa ibu dan nenek moyang mereka berasal dari Arab. Sebaliknya, banyak di antara ulama besar kita, bahkan dari kalangan
kaum lakii-laki, seperti Imam Bukhari, tidak berasal dari keturunan Arab. Demikian pula sang Muhaditsah, Amat al-Ghafur bint Ishaq ad-Dihlawi rahimahallah, berasal dari Delhi, India.
Ayahnya adalah salah seorang ulama terkenal di India, dan karenanya dia belajar dari keikutsertaan bersama ayahnya, mempelajari berbagai kitab-kitab hadits dan fiqh bersama ayahnya. Dengan cara ini dia meraih penguasaan yang tinggi dalam hadits dan fiqh. Ayahnya menikahkannya dengan seorang ulama; kapanpun dia mengalami kesulitan, dia akan datang kepada isterinya, Amat al-Ghafur rahimahallah. Al-Hasani berkata:
“Ketika suaminya, yang juga seorang ulama besar, menghadapi kesulitan dalam hadits atau fiqh, dia berdiskusi dengan isterinya dan menarik manfaat darinya.”10 Sungguh ini adalah anugerah yang Allah berikan bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya yang beriman.
10 Al-Hasani, Nushat al-Khawatir, VII, 93.
Kesimpulan
Untuk ringkasnya, saya hanya menyebutkan beberapa contoh para wanita yang mengajari suami mereka. Namun demikian, sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa rumah seorang Muslim – khususnya pada hari dan di masa itu – adalah tempat pribadi dan karenanya bagaimana mereka belajar bersama dan apa yang mereka pelajari tidak diuraikan secara terperinci. Beberapa contoh yang diberikan (di sini) merupakan isyarat yang jelas, bagaimana para wanita memberikan kontribusi yang besar untuk menyebarkan ilmu-ilmu keislaman, meskipun dari kediaman pribadi mereka.
Saudari-saudariku, mari kita kembalikan warisan dari para ibu pendahulu kita dan berlomba dengan suami-suami kita dalam memperoleh ilmu, sebagaimana Allah berfirman: “...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”
(QS Al-Ma’idah [5] : 48)
18
http://www.raudhatulmuhibbin.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar