Senin, 13 Oktober 2014

Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya

  Judul Asli   : Muslim  Women  Who  Taught  Their
    Husband  
Penulis  : Bintus Sabil
Judul Terjemahan  : Wanita  Muslimah  yang  Mengajari
    Suaminya 
Alih Bahasa  : Ummu Abdillah al-Buthoniyah
Desain sampul  : MRM Graph

Disebarluaskan melalui:


Website:
http://www.raudhatulmuhibbin.org
e-Mail: redaksi@raudhatulmuhibbin.org
Oktober, 2009

Buku  ini adalah online e-Book dari Maktabah
Raudhah al Muhibbin yang diterjemahkan dari   on-line e-Book versi Bahasa  Inggris dari  situs
http://www.idealmuslimah.com.  Diperboleh- kan untuk menyebarluaskannya dalam bentuk
apapun, selama tidak untuk tujuan komersil



Daftar Isi

1.  P e n d a h u l u a n ..................................................     1
2.  Fatimah bint al-Mundzir ibn az-Zubair al-Awam.......   3
3.  Puteri Sa’id bin al-Musayyib.....................................    8
4.  Fatimah bint Muhammad ibn Ahmad.......................   10
5.   Maryam bint Jash....................................................   12
6.  Fatimah bint Yahya..................................................  14
7.  Amat al-Ghafur bint Ishaq ad-Dihlawi.......................  16
8.  K e s i m p u l a n ......................................................  18




  Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya

55 
Pendahuluan

 Saya  hampir  bisa  merasakan  keterkejutan  anda  ketika membaca  judul  “Wanita  Muslimah  yang  Mengajari Suaminya”!? Rasa  takjub  itu mungkin berasal dari  keadaan yang  menyedihkan  yang  banyak  dijumpai  oleh  kaum Muslimin sekarang ini. 
Wanita  Muslimah  sekarang  ini,  tidak  dapat  mengajari suaminya karena:
1.  Mereka  tidak  memiliki  ilmu  yang  akan  diajarkan kepada suaminya, titik.
2.  Sang suami tidak ingin belajar dari isterinya (betapa memalukannya isteriku mengajariku!)
3.  Salah satu atau keduanya terlalu sibuk untuk sekedar duduk bersama dan mempelajari agama Allah.
4.  Salah  satu atau keduanya  tidak  tertarik atau hanya sedikit  sekali  tertarik  untuk  mempelajari  agama Islam.
Namun kaum Muslimin di masa lalu sangat berbeda dengan kaum Muslimin di zaman sekarang ini. Ada saat-saat dimana keduanya,  suami  dan  isteri,  duduk  bersama  dengan kecintaan yang sama akan ilmu mengenai agama ini. Orang-orang  yang  mengenal  ilmu-ilmu  Islam  akan  mengetahui
bahwa  para  ulama  terdahulu  sedemikian  bersemangat menempuh perjalanan  selama berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan  satu  hadits  Nabi  s.  Bagi  laki-laki  seperti mereka,  memiliki  isteri  seorang  ulama  adalah  salah  satu anugerah terbesar di dunia ini dan sumber penghargaan dan penghormatan.

Betapa kejinya ketika seseorang memberi label kepada para ulama  Islam  sebagai  patriarki  dan misogenis  (laki-laki  yang membenci  wanita).  Sungguh  sayang,  seiring  perputaran dunia, kebodohan menyebar; para Modernist  (yang darinya bercabang kaum Feminis) mengajak pada penafsiran kembali
ayat-ayat  Allah,  hadits  Nabi  s  dan  hukum-hukum  Islam secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa  Islam yang kita kenal hari ini adalah buah dari pemikiran, pendapat dan ide-ide kaum laki-laki.
Bagi mereka yang merasa malu untuk belajar dari isterinya, Bagi  mereka  yang  berkata  bahwa  wanita  Muslimah  tidak memiliki peran dalam menyebarkan ilmu, Bagi mereka  yang mengatakan  bahwa  Islam  adalah  agama yang misogenis dan patriarki, Dan bagi para wanita yang berusaha untuk merubah ajaran Islam dan mengatakannya andocentric.1 Saya menantang anda untuk terus membaca buku ini.
                                                          
Andocentric yaitu ‘male centered’ atau sesuatu yang  berpusat pada laki-laki.

  • Fatiman Binti al-MundzirIbn aZ-Zubair Ibn al-Awwam.

Asma xadalah  sosok  yang  dikenal  dalam  sejarah  Islam, tidak  saja karena dia adalah anak dari Abu Bakar as-Siddiq z  dan  saudari  Aisyah x,  akan  tetapi  dia  juga  adalah isteri  yang  taat  dari  sahabat  Zubair  ibn  al-Awwam z.
Perannya dalam membantu Nabi s dan keteladanan dalam pengorbanan dan kesabarannya akan tetap hidup dalam satu kurun  sejarah  Islam.  Dia  diberi  nama  Dzaatun  Niataqain (wanita  dengan  dua  ikat  pinggang)  karena  peristiwa  yang dialaminya  dimana  dia  menggunakan  dua  ikat  pinggang2
untuk  mengikat  makanan  bagi  Nabi s  dan  ayahnya  Abu Bakar z.  Keduanya  telah  meninggalkan  Makkah  dan dikejar oleh musuh-musuh (Quraisy). Adalah tugas Asma x untuk  membawakan  makanan  itu  bagi  mereka  secara rahasia; dalam keadaan hamil tua dia memanjat gunung Tsur.
Bagi mereka  yang  tidak  terbiasa dengan  gunung  ini,  cukup bagimu  mengetahui  bahwa  bahkan  orang  muda  akan terengah-engah mendaki  jalannya  yang  berbatu.  Apa  yang mendorong  Asma x,  dengan  kehamilannya, menempuh perjalanan yang berbahaya itu? Tidak lain karena cinta yang
                                                          
2 Asma x memiliki satu ikat pinggang yang akhirnya dirobeknya menjadi dua, dan salah satunya digunakan  untuk mengikat  bekal makanan dan yang satu lagi  dipakai sebagai ikat pinggang.

mendalam kepada Nabi s dan ayahnya. Selanjutnya ketika Abu  Jahal datang ke  rumah Abu Bakar z, dengan penuh dendam  dan  amarah  bertanya  kepada  Asma xdimana ayahnya  dan  Nabi  yang  mulia  s  berada.  Berdiri  tegar, dengan  iman  yang  mengalir  di  sekujur  nadinya,  dia mengatakan  bahwa  dia  tidak  mengetahuinya.  Abu  Jahal menampar  pipinya;  dan  dia  tetap  tegar  berdiri  tanpa menyerah, dengan hati  yang dipenuhi  cinta  kepada  agama ini.
Kecintaannya tidak berakhir dengan wafatnya Rasulullah s, sebaliknya dia menyalakan kecintaan yang mendalam  ini ke dalam  hati  anak-anak  dan  cucu-cucunya.  Salah  seorang cucunya  yang mengambil manfaat  yang  sangat  besar  dari kebersamaan  dengannya  tidak  lain  adalah  Fatima  bin  al-Mundzir rahimahallah. Allah telah memilih Fatimah menjadi sebuah cahaya yang namanya bersinar – bahkan hingga hari ini, di kitab-kitab hadits.
Fatimah  bin  al-Mudnzir  rahimahallah  dipandang  sebagai salah  satu  Tabi’at  yang  utama  di  masanya.  Dia  adalah seorang  ulama  besar  dan  dikenal  sebagai  seorang  Faqihah dan menikah dengan saudara sepupunya, Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair v. Hisyam v juga seorang ulama besar dan seorang  perawi  hadits.  Beberapa  diantara murid-mudirnya yang utama adalah Imam Abu Hanifah v, Imam Malik v, Syu’bah v dan Sufyan ats-Tsauri v.

Meskipun  mereka  berdua  bersepupu,  Hisyam  tidak mendapatkan  banyak hadits Nabi s dari Asma xseperti yang diperoleh Fatimah. Oleh karena itu dia bertanya kepada isterinya  dan  belajar  darinya  perkataan  Nabi  s, menghafalkannya dan  kemudian menyampaikannya  kepada para  sahabat dan murid-muridnya, dari apa  yang diajarkan isterinya.  Banyak  yang  telah  meriwayatkan  dari  Fatimah, seperti  Ibnu  Ishak  (penulis  buku  shirah  yang  terkenal)  dan yang  lainnya.  Akan  tetapi  Hisyam  merupakan  orang  yang paling  utama  dalam  meriwayatkan  hadits  langsung  dari Fatimah rahimahalllah.
Berikut  ini  hanyalah  beberapa  contoh  dalam  kitab  hadits utama, dimana Hisyam meriwayatkan dari Fatimah:
1.  Hisyam  meriwayatkan  dari  isterinya  Fatimah,  dari neneknya Asma bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada  Rasulullah  s  lalu  berkata,”Ya  Rasulullah  s,  aku mempunyai anak perempuan yang akan menjadi pengantin.
Ia  pernah  terkena  penyakit  cmpak  sehingga  rambutnya rontok.  Bolehkan  aku  menyambungnya  (dengan  rambut lain)?”  Rasulullah  s  bersabda:  “Allah  mengutuk  wanita yang  menyanbungkan  rambut  seorang  wanita  dengan rambut  lain  dan  wanita  yang  meminta  disambungkan rambutnya.”
Hadits ini diriwyatkan dalam:
•  Shahih Bukhari
 •  Shahih Muslim
•  An-Nasa’i
•  Ibnu Majah
2.  Hisyam  berkata:  Fatimah  meriwayatkan  kepadaku  dari Asma bahwa dia berkata: “Kami memakan daging salah satu kuda kami di masa Nabi s.“
Hadits ini diriwayatkan dalam:
•  Shahih al-Bukhari
•  Shahih Muslim
•  An-Nasa’i
•  Ibnu Majah
3. Hisyam meriwayatkan dari  Fatimah  dari Asma  bahwa  ia berkata:  Rasulullah  s  kepadaku:  “Berinfaklah  atau memberilah  dan  jangan  menghitung-hitung,  karena  Allah akan memperhitungkannya untukmu.” 
Hadits ini diririwayatkan dalam:
•  Shahih al-Bukhari
•  Shahih Muslim
•  An-Nasa’i
4. Hisyam  juga meriwayatkan hadits yang panjang   darinya dalam Shahih Bukhari dan Muslim mengenai Shalat Gerhana.

Bagi sebagian ulama Islam terkemuka, seperti Imam Bukhari v dan Imam Muslim v, mencatat hadits dimana: 
1.  Wanita meriwayatkan hadits
2.  Seorang laki-laki meriwayatkan dari isterinya
Hal  ini menyimpan  pelajaran  besar  bagi  orang-orang  yang mengatakan bahwa para ulama  Islam adalah misoginis dan andocentrik.  Sebaliknya,  kitab  yang  dipandang  sebagai sumber  ilmu  Islam  yang  memuat  hadits-haditsyang  paling terpercaya,  di  dalam  sanadnya  terdapat  nama-nama  para
wanita.  Bahkan  ini  cukup  sebagai  contoh  bahwa  laki-laki dapat  meriwayatkan dari isterinya tanpa perlu merasa malu.
Jika bukan karena Hisyam v yang belajar dari Fatimah v, yang  belajar  dari  Asma x,  kita  mungkin  tidak  dapat menarik manfaat dari mutiara hikmah yang  indah  ini, yang diambil dari lautan Kenabian (yakni hadits-hadits Nabawiyah yang diriwayatkan Fatimah dari Asma-pent.).


  • Puteri Sa'id Ibn al-Musayyib
 Sekarang saya mempersembahkan kepada anda keteladanan cucu  dari  sahabat  yang  mulia,  Abu  Hurairah z.  Abu Hurairah menikahkan puterinya dengan Sa’id bin al-Musayyib v. Dari perkawinan yang diberkahi  ini, Sa’id bin Musayyib dikaruniai seorang puteri yang shalihah dan cerdas.
Ketika tiba waktunya untuk menikahkan puterinya, Sa’id bin al-Musayyib v memilihkan baginya salah seorang muridnya bernama Abdullah; Abdullah dipilih dari yang lainnya karena keikhlasannya dalam menuntut ilmu sangat jelas. 
Kecintaan  Abdullah  terhadap  ilmu  dapat  dilihat  keesokan harinya setelah menikah dengan puteri Sa’id bin al-Musaayib, ia mengenakan  pakaiannya  hendak  keluar,  lalu  isteri  yang baru dinikahinya bertanya: “Hendak kemana engkau?” Dia  menjawab:  “Hendak  menghadiri  majelis  Sa’id  bin  al-Musayyib untuk belajar.” Isterinya  berkata,  “Duduklah,  saya  akan mengajarimu  ilmu Sa’id bin al-Musayyib.”3 Kemudian  puteri  Sa’id  bin  al-Musayyib mengajarinya  ilmu. Selama  satu bulan Abdullah  tidak menghadiri halaqah Sa’id
                                                          
3 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.

bin  al-Musayyib  karena  ilmu  yang  telah  dipelajari  wanita muda  yang  cantik  ini  melalui  ayahnya  (yang  kemudian disampaikan kepadanya) telah memadai.
Sangat penting untuk bertanya kepada diri kita sendiri – jika para wanita Muslimah benar-benar memiliki ilmu ini melebih suaminya pada masa sekarang ini, apakah hal tersebut akan menambah  penghormatan  dan  ketaatan  mereka  terhadap suaminya,  ataukah  ilmu  ini  akan  menjadi  sumber  banyak persoalan rumah tangga? Keutamaan para wanita ini adalah ilmu  yang  mereka  miliki  hanya  menambah  bagi  mereka  ketaatan dan penghargaan kepada suami mereka. 
Perkataan  berikut  dari  suami  dari  ulama  wanita  ini  cukup untuk  memahami  betapa  cinta  yang  dimiliki  sang  suami kepadanya karena ilmu dan ketaatannya:
“Dia lah termasuk wanita yang paling cantik dan paling hafal  Kitabullah,  dan  paling  mengetahui  tentang Sunnah  Nabi  s,  dan  yang  paling  tahu  hak-hak suaminya.”4
Semoga Allah ￿ menjadikan para  ibu,  saudari, dan puteri-puteri  (Muslimah)  mendapatkan  posisi  yang  demikian  di mata  suami-suami  mereka,  dengan  ilmu,  ketaatan  dan kecintaan mereka terhadap agama ini.

                                                          
4 Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, ii 167-68.


  • Fatimah Bint Muhammad Ibn Ahmad


Sekarang kita akan mengunjungi salah seorang Faqihah besar di masanya. Dia dikenal akan keilmuannya terhadap madzhab Hanafi, dan dia  tidak  lain adalah puteri dari seorang ulama dan  ulama  fiqh  besar,  Muhammad  ibn  Ahmad  ibn  Abu Ahmad Alauddin as-Samarqandi v, yang kitabnya Tufathul Fuqaha sangat dikenal oleh para ulama dan penuntut  ilmu.
Dia  tidak  saja  belajar  fiqih  dari  ayahnya,  namun  dia  juga menghafal kitab ayahnya Tufathul Fuqaha.  Menjadi seorang ahli fiqih bukan perkara mudah, seseorang harus menguasai ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi s dan prinsip-prinsip madzhab yang dijadikan landasan hukum.
Bahkan mereka harus memiliki  ilmu mengenai keadaan dan kebutuhan dunia di masanya.  Ilmu  yang dimiliki wanita  ini melebihi suaminya, yang berkonsultasi dengannya mengenai pendapatnya,  khususnya  ketika  suaminya  keliru  dalam memberikan  fatwa.  Namanya  adalah  Fatimah  bint Muhammad  bin  Ahmad  rahimahallah,  dan  ayahnya menikahkannya dengan Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-kasani v, yang sangat dikenal dalam bidang ushul dan furu’.
Dia menulis komentar atas Tufathul Fuqaha berjudul Bada’i as-Sana’i,  dan  menunjukkannya  kepada  Syaikhnya  (ayah Fatimah), yang merasa senang dengannya dan menerimanya sebagai mahar bagi puterinya, meskipun dia  telah menolak pinangan  dari  beberapa  raja  di  Bizantium.  Para  fuqaha  di masanya berkata, “Dia membuat komentar atas at-Tufat dan menikahi anaknya.”
Sebelum  menikah,  Fatimah  biasa  mengeluarkan  fatwa bersama ayahnya, dan fatwa tersebut ditulis dengan tulisan tangannya dan ayahnya. Setelah dia menikah dengan penulis al-Bada’i,  fatwa  tertulis dengan  tulisan  tangannya, ayahnya dan  suaminya. Bila  suaminya membuat kesalahan dia akan memperbaikinya.5 Ibnu al-Adim berkata:
“Ayahku  meriwayatkan  bahwa  dia  (Fatimah)  biasa menukil  madzhab  Hanafi  dengan  sangat  baik. Suaminya,  al-Kasani,  kadang-kadang  ragu  dan  keliru dalam berfatwa; maka dia memberitahukan pendapat yang benar dan menjelaskan alasan kesalahannya.”6 Heran?  Akan  tetapi  kita  akan  melihat    ada  banyak  yang semisal  Fatimah  bint  Muhammad  rahimahallah,  yang mengikuti jejaknya di abad berikutnya.

                                                           
5 Tufathul Fuqaha, 1/12
6 Abd Qadir al-Quraishy, al-Jawahir al-Mudiyyah fi Tabaqat Hanafiyyah, iv, 4.

  • Maryam Bint Jash
Wanita  Muslimah  maju,  tidak  hanya  dalam  masalah  fiqh, hadits  dan  tafsir,  akan  tetapi  juga  dalam  ilmu-ilmu  Islam lainnya.  Salah  satu  contohnya  adalah  Maryam  bint  Jash rahimahallah, yang hidup di abad ke IV, dia adalah ahli dalam bidang  bahasa  yang  Allah  ￿  pilih  untuk  menurunkan  Al-Qur’an.
Dia  menikah  dengan  seorang  ulama  besar  Yaman, Jamaluddin  Ali  bin  Abil  Fawaris  al-Hamdani v.  Tidak  saja karena  ilmunya  dalam  Bahasa  Arab,  dan  juga  dengan kecerdasan  otaknya,  Maryam  rahimahallah  dapat menguraikan  kerumitan  yang  dialami  suaminya.  Suaminya
terlibat  debat    dengan  beberapa  orang  pengikut Murji’ah.
Kebid’ahan mereka meyakini bahwa selama seseorang masih memiliki  iman di dalam hatinya,  tidak perduli apa yang dia lakukan  dengan  anggota  badannya,  iman  tersebut  akan menjamin  keselamatannya.  Suaminya, Ali, menukil  ayat  40 surat al-A’raaf:

“Sesungguhnya  orang-orang  yang  mendustakan  ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan  dibukakan  bagi  mereka  pintu-pintu  langit  dan  tidak (pula) mereka masuk  surga, hingga unta masuk  ke  lubang jarum.”
Orang-orang  Murji’ah  yang  berdebat  dengannya  berkata, “Hal  itu mudah bagi Allah, dengan  kekuasaan-Nya,  jika Dia menghendaki, Dia memasukkan unta melalui lubang jarum.” 
Ketika Ali kembali ke rumah pikirannya masih tersita  (yakni karena  perdebaan  itu-pent.)  dan  tidak  dapat  tidur  di malam hari.  Isterinya, Maryam, bertanya apa  yang  terjadi;  setelah dia  menjelaskan  kepada  Maryam  apa  yang  terjadi,  dia (Maryam) mengucapkan kalimat yang memberikan Ali tidak saja  tidur yang nyenyak  tapi benar-benar  tidur yang sangat nyaman.. Dia berkata:  “Dalam ayat Al-Qur’an tersebut, unta itu adalah subyek dan bukan obyek.”

  • Fatimah Bint Yahya

Fatimah bint Yahya rahimahallah adalah seorang Mujtahidah di  abad  ke  9. Mujtahidah  (bentuk  feminin  dari Mujtahid7) adalah  seorang  ulama  yang  cakap  yang  dapat  membuat deduksi  (menarik  kesimpulan)  dari  sumber-sumber  hukum Islam. Pada gilirannya, mereka menggunakan kesimpulan ini untuk  memberikan  hukum  sesuai  dengan  keadaan  dan kebutuhan seseorang dari masyarakat. Bagi orang yang diberi gelar Mujtahidah harus memiliki ilmu ijma para Sahabat dan yang  menyelisihinya,  para  pengikut  mereka  (tabi’in  dan tabi’ut  tabi’in)  dan  ulama-ulama  fiqh  dan  Mujtahid  yang terkemuka.  Karenanya  untuk  menjadi  seorang Mujtahidah bukan  perkara  yang  mudah,  namun  Fatimah  bint  Yahya pantas mendapatkannya.
Sedemikian ilmunya, sehingga ayahnya – seorang ulama yang

juga  memiliki  banyak  murid  –  ditanyai  oleh  Fatimah berkenaan dengan beberapa perkara fiqh. Ulama besar Asy-Syaukani v berkata mengenai dirinya: “Dia  sangat  dikenal  karena  ilmunya.  Dia  telah mendebat  ayahnya  dalam  beberapa  perrkara  fiqh.
                                                          
7  Ringkasnya,  Mujtahid  (atau  Mujtahidah)  adalah  orang  yang berusaha  dnegan  bersungguh-sungguh  untuk  mengetahui  suatu hukum syar’i.

Ayahnya,  sang  imam, membenarkan  bahwa  Fatimah melakukan  ijtihad dalam menarik kesimpulan hukum.
Ini menunjukkan akan kelebihan  ilmunya, kaena sang imam tidak akan berkata demikian kecuali bagi orang yang pantas mendapatkannya.”8 Ayahnya menikahkannya dengan seorang ulama Al-Mutahar ibn  Muhammad  Sulaiman  ibn  Muhammad  (wafat  tahun 879H). Al-Mutahar  sangat beruntung,  karena  kapanpun dia bimbang  dalam  suatu  perkara,  dia  akan  merujuk  kepada isterinya  untuk menilai  perkara  fiqh  yang  sulit.  Bahkan  di tengah-tengah  para  muridnya,  ketika  dia  terbentur  pada sebuah perkara yang rumit, dia akan bangkit lalu menuju ke balik tirai, dimana sang Mujtahidah duduk di baliknya. Ketika dia kembali dengan jawaban, murid-muridnya berkata: “Ini bukan darimu, melainkan dari orang yang berada di balik tirai.”9


8 Asy-Syaukani, Al-Badr at-Tali, II, 24.
9 Al-Hibasyi, Mu’jam an-Nisa al-Yamaniyah, 149.

  • Ammat al-Ghofur Bint Ishhaq aD-Dihlawi

Saya  mengakhiri  (tulisan  ini)  dengan  sebuah  keteladanan Muhaditsah terkemuka, seorang ajam (non Arab) pada abad ke 13 H.
Kata  orang  ajam  digaris  bawahi  karena  banyak  yang menyangka bahwa wanita-wanita utama  ini menjadi utama hanya karena mereka beruntung Bahasa Arab adalah bahasa ibu dan nenek moyang mereka berasal dari Arab. Sebaliknya, banyak  di  antara  ulama  besar  kita,  bahkan  dari  kalangan
kaum  lakii-laki,  seperti  Imam  Bukhari,  tidak  berasal  dari keturunan Arab. Demikian pula  sang Muhaditsah, Amat  al-Ghafur bint Ishaq ad-Dihlawi rahimahallah, berasal dari Delhi, India.

Ayahnya adalah  salah  seorang ulama  terkenal di  India, dan karenanya dia belajar dari  keikutsertaan bersama  ayahnya, mempelajari  berbagai  kitab-kitab  hadits  dan  fiqh  bersama ayahnya. Dengan cara ini dia meraih penguasaan yang tinggi dalam  hadits  dan  fiqh.  Ayahnya  menikahkannya  dengan seorang ulama; kapanpun dia mengalami kesulitan, dia akan datang kepada isterinya, Amat al-Ghafur rahimahallah.  Al-Hasani berkata:

“Ketika  suaminya,  yang  juga  seorang  ulama  besar, menghadapi  kesulitan  dalam  hadits  atau  fiqh,  dia berdiskusi  dengan  isterinya  dan  menarik  manfaat darinya.”10 Sungguh  ini adalah anugerah yang Allah berikan bagi  siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya yang beriman.


10 Al-Hasani, Nushat al-Khawatir, VII, 93.


Kesimpulan

Untuk  ringkasnya,  saya  hanya  menyebutkan  beberapa contoh para wanita  yang mengajari  suami mereka. Namun demikian,  sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa rumah seorang Muslim – khususnya pada hari dan di masa itu  –  adalah  tempat  pribadi  dan  karenanya  bagaimana mereka belajar bersama dan apa yang mereka pelajari tidak diuraikan secara terperinci. Beberapa contoh yang diberikan (di sini) merupakan isyarat yang jelas, bagaimana para wanita memberikan kontribusi yang besar untuk menyebarkan ilmu-ilmu keislaman, meskipun dari kediaman pribadi mereka.

Saudari-saudariku, mari kita kembalikan warisan dari para ibu pendahulu  kita  dan  berlomba  dengan  suami-suami  kita dalam memperoleh ilmu, sebagaimana Allah berfirman: “...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”               
(QS Al-Ma’idah [5] : 48)

18
http://www.raudhatulmuhibbin.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar